Populis, Jakarta -
Vonis hukuman yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap para pelaku pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) yakni Ferdy Sambo, Putri Candrawati, Kuat Ma’ruf, Ricky Rizal, dan Richard Eliezer (Bharada E) pada awal pekan ini, berpotensi berubah di pengadilan tingkat kasasi.
Sebab, menurut mantan Hakim Agung RI, Prof Gayus Lumbuun, masih ada celah hukum yang menjadi dasar untuk menggugurkan vonis hakim di pengadilan tingkat pertama. Ia juga mengatakan vonis hukuman terhadap seseorang harus dilatarbelakangi motif perkara yang jelas dan itu harus diungkap secara terinci di persidangan.
“Dalam sebuah vonis, nasib seseorang dan nilai-nilai keadilan dipertaruhkan,” kata Prof Gayus dalam keterangan persnya, Sabtu (18/2/2023).
Prof Gayus mengatakan, dalam perkara kasus pembunuhan Brigadir J dengan terdakwa Ferdy Sambo, Putri Candrawati, Kuat Ma’ruf, Ricky Rizal, dan Richard Eliezer, tidak terungkap jelas apa sebenarnya yang menjadi motif dari pembunuhan berencana tersebut. Dengan alasan motif bukanlah merupakan bagian dari delik karenanya bisa dikesampingkan, maka majelis hakim kemudian memvonis Ferdy Sambo dengan hukuman mati, Putri 20 tahun penjara, Kuat 15 tahun penjara, dan Ricky 13 tahun penjara, serta Eliezer 1,6 tahun penjara.
Padahal, kata Prof Gayus, niat dan motif dalam tindak pidana merupakan dua elemen yang penting untuk membuat seseorang harus bertanggung jawab atas kejahatan yang diperbuatnya. "Ini juga merupakan sebuah doktrin."
Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Universitas Krisnadwipayana (Unkris) ini juga menjelaskan bahwa doktrin merupakan sumber hukum yang sifatnya formil. Oleh karena itu, hal yang menyangkut kepada motif dan niat tentu perlu dipertimbangkan dengan penuh.
Kalau secara doktrinal, sebuah motif dikesampingkan bisa-bisa saja. Namun, dalam tataran praktis, demi keadilan dan menyangkut nasib orang, maka motif itu harus diungkapkan,” tegas Prof Gayus.
Sebab kalau motifnya tidak diungkap, jelas Prof Gayus, dikhawatirkan ada kekosongan dalam penanganan suatu perkara yang kurang lengkap pertimbangan hukumnya. Di sinilah nanti menjadi celah dimungkinkannya putusan hakim di pengadilan tingkat pertama dan kedua direvisi.
Prof Gayus menegaskan bahwa jaksa harus bisa mendalami apa motif Ferdy Sambo merencanakan pembunuhan Brigadir J. Dan jika hakim merasa paparan kasusnya tidak memiliki motif jelas, maka bisa dikembalikan ke jaksa penuntut umum (JPU) dan meminta untuk lebih digali apa yang menjadi motif sebenarnya.
Bahkan kalau perlu digali lagi ada di bawahnya motif yakni, dasar motif. Hakim juga bisa meminta dilakukan persidangan tertutup untuk bisa mengungkap motif di balik pembunuhan berencana tersebut,” jelas Prof Gayus.
Beberapa waktu lalu, lanjut Prof Gayus, kuasa hukum keluarga Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak, pernah mengungkapkan bahwa kasus pembunuhan Brigadir J ada kaitannya dengan 303 (perjudian). “Ini kan juga bisa menjadi motif terjadinya pembunuhan berencana itu. JPU harus bisa menggali hal tersebut, apakah benar demikian atau ada motif lainnya.”
Prof Gayus mencontohkan dalam persidangan, hakim menyebut bahwa Putri sakit hati dengan Brigadir J, tanpa menjelaskan apa penyebab sakit hatinya. Padahal, mungkin dari situ bisa terungkap sesuatu yang mengarah pada pembunuhan tersebut.
Jika hakim tidak menguraikan motif demi keadilan, sambung Prof Gayus, maka di tingkat upaya hukum lanjutan, kemungkinan terjadi onvoldoende gemotiveerd yang menurut pakar hukum M Yahya Harahap adalah putusan tidak seksama mempertimbangkan semua hal (fakta-fakta dalam persidangan) yang relevan dengan perkata yang bersangkutan. "Atau bisa juga suatu keadaan yang tidak secara luas dibahas atau tidak lengkap dan menjadi membingungkan. Ini bisa berakibat mengubah hukuman terhadap terdakwa atau membatalkan hukum sebelumnya,” tukasnya.
Lebih jauh Prof Gayus mengatakan, onvoldoende gemotiveerd menjadi pintu masuk untuk mengoreksi putusan judex factie lantaran pertimbangan hukum di tingkat itu tidak cukup dipertimbangkan secara lengkap. Tidak saja pada niat dan motif, tapi ada pada pertimbangan kebenaran hukum.
Prof Gayus mengingatkan bahwa hukum adalah kebenaran. Dalam kasus Ferdy Sambo misalnya, ada perintah ‘hajar’ yang diasumsikan dengan tembak. Itu pun ada jenisnya, ada tembak peringatan, melumpuhkan, atau mematikan. “Dalam hal ini harus dicari kebenaran yuridisnya, tidak bisa secara letterlijk, tapi dicari kebenaran yang lebih luas,” kata dia mengingatkan.
Begitu pula patut dipertanyakan, apakah perintah diberikan oleh orang yang berwenang untuk menembak sesama polisi. “Apabila bukan orang yang berwenang, maka akan terjadi error in persona dan error in objecto,” cetus Prof Gayus.
Prof Gayus memaparkan, error in persona berarti pihak yang bertindak sebagai penggugat atau yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap, masih ada orang yang harus bertindak sebagai penggugat atau ditarik tergugat. Sementara error in objecto artinya, kesalahan gugatan/dakwaan karena adanya kekeliruan terhadap objek yang digugat/didakwakan.
Bila terjadi demikian, kata Prof Gayus, maka akan menjadi misbruik van recht yakni, penyalahgunaan hak yang dianggap terjadi apabila seseorang menggunakan haknya bertentangan dengan tujuan diberikan hak itu atau bertentangan dengan tujuan masyarakat.
Menurut Prof Gayus, perubahan hukuman di tingkat kasasi dimungkinkan karena hakim-hakim di tingkat Mahkamah Agung (MA) hanya memeriksa soal penerapan hukumnya saja (judex juris). "Kalau di pengadilan negeri dan tinggi disebut judex factie, di mana hakim akan memeriksa sesuai bukti dan saksi.
Prof Gayus yakin, saat ini banyak orang senang dengan vonis mati yang diterima Ferdy Sambo termasuk pihak keluarga Brigadir J. “Saya hanya mengingatkan, berangkat dari pengalaman saya sebagai Hakim Agung, itu bisa berubah karena ada celah hukum yang memungkinkan, apa itu? Ya karena tidak diungkap secara jelas apa motifnya. Mungkin kalau motifnya diungkap kenapa dilakukan pembunuhan berencana, maka ceritanya akan berbeda,” tegas dia.
Editor: Nugroho Dwi Yanto