SuaraSoreang.id – Bharada E kini terancam. Penyidik Mabes Polri akan membahayakan sang eksekutor penembak Brigadir J.
Hasil lie detector diduga akan mengancam Bharada E dan berpotensi mengaburkan pelaku utama.
Hal itu dikatakan seorang Ahli Hukum Pidana, Firman Firman Wijaya yang mengatakan jika hasil penyidikan menggunakan lie detector bisa jadi akan mengaburkan dalang pembunuhan Brigadir J.
Menurutnya, hasil pemeriksaan menggunakan alat tersebut akan berimbas kepada Bharada E.
Walau sebetulnya Bharada E menjadi eksekutor penembak Brigadir J saja, namun berdasar pemeriksaan penyidik Mabes Polri, otak penembakan atau dalangnya adalah Irjen Ferdy Sambo.
Selain itu Kuasa Hukum Bharada E, Ronny Talapessy juga beranggapan sama.
Dalam Program Dua Sisi tvOne, dia menjelaskan soal apa yang terjadi saat ini membahayakan Bharada E, kliennya.
Padahal, menurut Ronny Talapessy, Bharada E selama penyidikan sudah konsisten dan terbuka tentang kejadian pembunuhan Bharada E.
"Prinsipnya klien saya (Bharada E) sudah konsisten. Kita garis bawahi, klien saya adalah saksi mahkota, perannya sangat penting," kata dia.
Ronny juga menduga jika hasil dari lie detector akan membahayakan kliennya.
Menurut dia, semua itu bisa diuji di pengadilan dengan pasal 185 ayat 6 tentang persesuaian saksi dan saksi serta persesuaian saksi dengan alat bukti lainnya.
Dalam diri Bharada E, kata Ronny Talapessy, dia merupakan sosok cerminan anak muda yang ingin mengabdi pada negara.
"Ini anak (Bharada E) adalah cerminan anak muda yang ingin mengabdi pada negara,” ujarnya.
"Namun malah ketemu sama atasan (Ferdy Sambo) yang tidak bertanggungjawab, yang boleh dikatakan mengorbankan anak buahnya sendiri yang pangkatnya paling rendah," ujarnya.
Kuasa hukum Bharada E ini berharap pada penegak hukum seperti JPU dan hakim melihat hasil tes Psikologi Bharada E yakni religius.
Di lain sisi, Pengacara Brigadir J, Johnson Panjaitan juga menilai, pelanggaran obstruction lebih berbahaya daripada pembunuhan berencana karena menyangkut nama besar Polri.
"Padahal ini obstruction ya. Obstruction ini jauh lebih berbahaya ketimbang soal pembunuhan berencananya itu. Karena ini menyangkut institusi," ucapnya.
Johnson menyayangkan hal ini, sebab transparansi dan akuntabel yang dikatakan Polri hanya menampilkan soal sidang dan pencopotan personel.
"Kita tidak hanya butuh hukuman yang berat untuk membersihkan," ucapnya.
"Karena ini bukan cuma soal pembersihan, tapi juga soal institusinya," lanjut dia.
"Pola-polanya bagaimana, dia melakukan obstruction of justice dan bagaimana berjaringan," ungkapnya.
"Karena ini bukan oknum, saya khawatir juga kalau institusi. Tapi kalau jumlahnya 97, mau bilang bagaimana?" kata Johnson.
Apalagi, lanjutnya, pembunuhan berencana ini dilakukan polisi pada polisi.
Selain itu, Johnson menyoroti istri Brigjen Hendra Kurniawan, Karo Paminal Propam Polri, Seali Syah yang beberapa waktu belakangan aktif melakukan pembelaan-pembelaan untuk suami.
Namun, menurut Johnson, aksi pembelaan yang dilakukan Seali Syah tidak seapik dan canggih istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi.
"Tapi tidak secanggih PC (Putri Candrawati, istri Sambo)," kata dia.
Secara substansi, masalah dalam kasus ini ada dua. Yang satu mengenai pelanggaran pasal 340 KUH Pidana dan kedua yakni bagaimana institusi ini terutama yang berhubungan dengan Satgasus.
"Dalam konteks Satgasus, ini jadi berlapis-lapis dan banyak tanda tanya. Kenapa tanda tanya? Pertama, sampai sekarang saya tidak mendapatkan rekening dan handphone. Padahal handphone itu juga rekening dan sebagainya kan," kata dia.
Johnson menjelaskan jika dua benda penting. Tetapi malah hilang karena tindakan menghalang-halangi penanganan hukum (obstruction of justice).
"Saya bukan hanya obstructionnya! Ngomong mau memberantas judi online, dapat, terbukti kan. Tapi kan praktiknya transfer-transfer. Kok tidak ada rekening gendut? Senjata bagaimana? Mengerikan loh," ungkapnya.